Berarti 1). Sifat-sifat Allah SWT itu adalah satu-satu, seperti sifat Ilmu ada satu, sifat Qudrah satu, sifat Iradah satu, dan seterusnya. Sebagai contoh, sifat Ilmu: Allah SWT mengetahui apa saja adalah dengan sifat Ilmu yang satu. Hal ini berbeda dengan manusia. Kalau manusia, maka mengetahui "Zaidun qá'imun" dengan rincian "Zaid Makna al-Afuw secara bahasaPenjabaran makna nama Allah al-AfuwPembagian sifat al-afw memaafkan dari Allah Ta’alaPengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-AfuwPenutupMakna al-Afuw secara bahasaIbnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah meninggalkan sesuatu[1].Ibnul Atsir berkata, “Nama Allah “al-Afuw” adalah fa’uul dari kata al-afwu memaafkan yang berarti memaafkan perbuatan dosa dan tidak menghukumnya, asal maknanya menghapus dan menghilangkan[2].Al-Fairuz Abadi berkata, “al-Afwu adalah pemaafan dan pengampunan Allah Ta’ala atas dosa-dosa makhluk-Nya, serta tidak memberikan siksaan kepada orang yang pantas mendapatkannya[3].Penjabaran makna nama Allah al-AfuwAl-Afuw adalah zat yang maha menghapuskan dosa-dosa dan memaafkan perbuatan-perbuatan maksiat[4].Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,{إنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ}“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” QS al-Hajj60.Beliau berkata, “Artinya Dia maha memaafkan orang-orang yang berbuat dosa, dengan tidak menyegerakan siksaan bagi mereka, serta mengampuni dosa-dosa mereka. Maka Allah menghapuskan dosa dan bekas-bekasnya dari diri mereka. Inilah sifat Allah Ta’ala yang tetap dan terus ada pada zat-Nya yang maha mulia, dan inilah perlakuan-Nya kepada hamba-hamba-Nya di setiap waktu, yaitu dengan pemaafan dan pengampunan…”[5].Makna inilah yang dimaksud dalam doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk dibaca pada malam lailatul qadrاللهم إنك عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, Engkau suka memaafkan hamba-Mu, maka maafkanlah aku”[6].[7]Dalam beberapa ayat al-Qur’an Allah menggandengkan nama ini dengan nama-Nya yang lain yaitu “al-Ghafur” maha pengampun, seperti dalam ayat di atas, demikian pula dalam surat an-Nisa’43 dan an-Nisa’99.{وَكَانَ الله ُعَفُوًّا غَفُوْرًا}“Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” QS an-Nisaa’99.Kedua nama Allah yang maha indah ini memang memiliki makna yang hampir sama, meskipun nama Allah al-Afuw memiliki makna yang lebih mendalam. Karena “pengampunan” mengisyaratkan arti as-sitru menutupi, sedangkan “pemaafan” mengisyaratkan arti al-mahwu menghapuskan yang artinya lebih mendalam dalam penghapusan dosa. Meskipun demikian, kedua nama Allah ini jika disebutkan sendiri-sendiri maknanya mencakup keseluruhan arti tersebut[8].Sifat “memaafkan” dan “mengampuni” ini adalah termasuk sifat-sifat yang tetap dan terus-menerus ada pada dzat Allah yang Maha Mulia. Dan senantiasa pengaruh baik sifat-sifat ini meliputi semua makhluk-Nya di siang dan malam hari. Karena sifat “memaafkan” dan “mengampuni” yang dimiliki-Nya meliputi semua makhluk, dosa dan perbuatan mestinya perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia menjadikan mereka ditimpa berbagai macam siksaan, akan tetapi pemaafan dan pengampunan-Nya menghalangi turunya siksaan tersebut. Allah Ta’ala berfirman{ولو يؤاخذ الله الناسَ بما كسبوا ما ترك على ظهرها من دابة ولكن يؤخرهم إلى أجل مسمى، فإذا جاء أجلهم فإن الله كان بعباده بصيرا}“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan dosa mereka, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan penyiksaan mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat keadaan hamba-hamba-Nya” QS Faathir45.Inilah kesempurnaan pemaafan-Nya, yang kalau bukan karena itu niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun[9].Senada dengan ayat di atas, dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satupun yang lebih bersabar menghadapi gangguan celaan yang didengarnya melebihi Allah Ta’ala. Sungguh orang-orang kafir telah menyekutukan-Nya dan mengatakan bahwa Dia mempunyai anak, tapi bersamaan dengan itu Dia tetap menangguhkan siksaan dan memberi rezki bagi mereka”[10].Baca Juga Mengenal Asmaul HusnaPembagian sifat al-afw memaafkan dari Allah Ta’alaSifat al-afw memaafkan ini ada dua macamYang pertama pemaafan-Nya yang bersifat umum bagi semua orang yang berbuat maksiat, dari kalangan orang-orang kafir maupun yang selain mereka. Yaitu dengan tidak menimpakan siksaan yang telah ada sebab-sebabnya, yang seharusnya menjadikan mereka terhalangi dari kenikmatan duniawi yang mereka rasakan, padahal mereka menentang-Nya dengan mencela-Nya menisbatkan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, menyekutukan-Nya dan melakukan berbagai macam penyimpangan lainnya. Bersamaan dengan itu Allah tetap memaafkan menangguhkan siksaa-Nya, memberi rezki dan menganugerahkan berbagai macam nikmat duniawi lahir dan batin kepada mereka. [su_spacer]Yang kedua Pemaafan dan pengampunan-Nya yang bersifat khusus bagi orang-orang yang bertaubat, yang meminta ampun, yang berdoa dan menghambakan diri kepada-Nya, demikian pula bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat-Nya dengan musibah-musibah yang menimpa mereka. Maka semua orang yang bertaubat kepada-Nya dengan tobat yang nashuh[11], maka Allah akan mengampuni dosa apapun yang dilakukannya, baik itu kekafiran, kefasikan maupun maksiat lainnya. Semua dosa tersebut termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,{قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعًا إنه هو الغفور الرحيم}“Katakanlah Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” az-Zumar53 [12].Baca Juga Asy Syaafi, Yang Maha PenyembuhPengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-AfuwMemahami nama Allah yang maha agung ini merupakan pintu utama untuk mencapai kedudukan yang tinggi di sisi-Nya, khususnya jika setelah memahaminya dengan baik kita berusaha untuk merealisasikan kandungan dan konsekwensi yang terkandung dalam nama ini. Yaitu melakukan istighfar meminta ampun kepada Allah secara kontinyu, meminta pemaafan, selalu bertobat, mengharapkan pengampunan dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya, karena Allah Ta’ala Maha Pema’af lagi Maha Pengampun, sangat mudah bagi-Nya untuk mengampuni dosa hamba-hamba-Nya bagaimanapun besarnya dosa dan maksiat tersebut. Maka seorang hamba senantiasa berada dalam kebaikan yang agung selama dia selalu meminta pemaafan dan mengharapkan pengampunan dari Allah[13].Cobalah renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut ini“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Seorang hamba melakukan perbuatan dosa, kemudian dia berdoa “Ya Allah ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang maha mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. Maka Allah mengampuni dosanya, kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang maha mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. Maka Allah mengampuni dosanya, kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang maha mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu wahai hamba-Ku, maka sungguh Aku telah mengampunimu”[14]. Yaitu, “Selama kamu terus bertaubat, memohon dan kembali kepada-Ku” [15].Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,{إن الله كان عفواً غفوراً}“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” QS an-Nisaa’43.Beliau berkata “Artinya Allah memiliki banyak pemaafan dan pengampunan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan memudahkan dan meringankan syariat-Nya bagi mereka, sehingga mudah bagi mereka untuk menunaikannya dan tidak bentuk pemaafan dan pengampunan-Nya adalah Rahmat-Nya bagi umat Islam ini dengan Dia mensyariatkan bersuci dengan tanah debu sebagai pengganti air ketika tidak mampu menggunakan termasuk bentuk pemaafan dan pengampunan-Nya adalah dengan Dia membukakan pintu taubat dan kembali kepada-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa, bahkan dia menyeru mereka untuk bertaubat dan menjanjikan pengampunan bagi dosa-dosa termasuk bentuk pemaafan dan pengampunan-Nya adalah bahwa seandainya seorang mukmin datang menghadap-Nya di akhirat nanti dengan membawa dosa sepenuh bumi, tapi dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan memberikan pada hamba-Nya itu pengampunan yang sepenuh bumi pula[16]. [17]Baca Juga Mengenal Nama Allah “Al-Hakiim”Termasuk bentuk pemaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan shaleh bisa menghapuskan perbuatan buruk dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,{إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ}“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan buruk” QS Huud114.Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan dosa perbuatan buruk tersebut[18].Demikian juga termasuk bentuk pemaafan-Nya adalah bahwa semua musibah yang menimpa seorang hamba pada diri, anak maupun hartanya, itu semua akan menghapuskan dosa-dosanya, khususnya jika hamba itu mengharapkan pahala dari musibah tersebut dan menunaikan sikap bersabar dan ridha dengan takdir Allah Ta’ala terhadap dirinya.Dan termasuk bentuk pemaafan-Nya yang agung adalah bahwa hamba-Nya selalu menentang perintah-Nya dengan melakukan berbagai macam maksiat dan dosa besar, tapi Dia selalu berlaku lembut dan memberikan maaf-Nya kepadanya, kemudian dia melapangkan dada hamba-Nya itu untuk bertobat kepada-Nya, lalu Dia menerima taubatnya. Bahkan Allah Ta’ala bergembira dengan taubat hamba-Nya padahal Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji, tidak akan memberi manfaat bagi-Nya ketaatan orang-orang yang taat, sebagaimana tidak akan merugikan-Nya kemaksiatan orang-orang yang berbuat maksiat [19].PenutupSesungguhnya pintu-pintu pemaafan dan pengampunan-Nya senantiasa terbuka lebar, dan Dia senantiasa dan selalu bersifat maha pemaaf dan pengampun. Sungguh Dia telah menjanjikan pengampunan dan pemaafan bagi orang-orang yang mengusahakan sebab-sebabnya, sebagaimana dalam firman-Nya,{وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحاً ثم اهتدى}“Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal shaleh kemudian tetap di jalan yang benar” QS Thaaha82 [20].Demikianlah, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita pemaafan-Nya dan memuliakan kita dengan pengampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pema’af lagi Maha الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمينKota Nabi shallallahu alaihi wa sallam, 17 Ramadhan 1430 HBaca Juga Berapakah Jumlah Asmaaul Husna ?***Penulis Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MAArtikel Mu’jamu maqaayiisil lughah 4/45.[2] An-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar 3/524.[3] Al-Qamus al-muhith hal. 1693.[4] Kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 142.[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 388.[6] HR at-Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” 2/239.[8] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 142.[9] Ibid hal. 143.[10] HSR al-Bukhari no. 5748 dan Muslim 2804 dari Abu Musa al-Asy’ari .[11] Artinya taubat yang murni untuk mengharapkan wajah Allah semata-mata, yang mencakup dan meliputi semua dosa, yang tidak disertai keragu-raguan dan sikap bersikeras pada perbuatan dosa tersebut.[12] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 143.[13] Ibid hal. 145.[14] HSR al-Bukhari no. 7068 dan Muslim no. 2758.[15] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 145.[16] Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR Muslim no. 2687, at-Tirmidzi no. 3540 dll.[17] Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 103.[18] HR at-Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153, dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.[19] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 144.[20] Ibid hal. 145. Dalamcontoh 'مَا أَحْسَنَ الْعِلْمَ', muta'ajjab minhu-nya adalah 'الْعِلْمَ'. Hukum muta'ajjab minhu pada shighot 'مَا أَفْعَلَ' adalah maf'ul dari af'ala sehingga ia dibaca nashab. Adapun hamzah dari af'ala itu untuk menunjukkan arti ta'diyah. Sehingga makna dari 'مَا أَحْسَنَ الْعِلْمَ' adalah 'شَيْءٌ جَعَلَهُ حَسَنًا' (sesuatu itu menjadikan ilmu bagus). -Bismillahirrahmanirrahim- Assalamualaikum. Kaifa halukum? Diharapkan semua baik2 saja. Entri kali ini saya nak berkongsi sedikit nota PIM 3112, Pengajian Aqidah yang dipelajari pada semester yang lalu. Dah habis sem baru nak kongsi? Sebenarnya dah lama ingin berkongsi, tapi sekarang baru berpeluang untuk taip semula apa yang dipelajari. Gaya macam busy sangat je. Huuu~ Tapi xpe la kan, better late than never omputih cakap. ^_~ Semoga nota ini bermanfaat untuk adik2 junior dan kepada yang membacanya. ' *** [Af'alullah] Definisi • Setiap kejadian yang berlaku di alam ini berdasarkan dengan kehendak dan iradat Allah Taala. • Setiap manusia wajib beriman dan redha dengan segala ketetapan dan pelaksanaan Allah terhadap hambaNya. Kerana kuasa Allah adalah mutlak. Manusia juga wajib yakin dan percaya Allah melaksanakan segala-galanya dengan kuasa, ilmu, kehendak dan segala sifat kesempurnaanNya dan bukan secara sia-sia. Contoh • Kejadian siang dan malam • Bencana alam • Pasang surut lautan Dalil "Dan ingatlah tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antaranya, secara main-main." Surah al-anbiya’ 16 Kekeliruan memahami konsep af’alullah Zaman Rasulullah hingga zaman ulama’ khalaf Umat Islam beriman pada qadha’ dan qadar tanpa ada persoalan. Mereka menerima Islam dengan hati yang ikhlas. Apabila empayar islam berkembang Berlaku perbahasan falsafah dan budaya lalu menimbulkan kekeliruan terhadap konsep af’alullah. Antaranya mengenai pergerakan makhluk atau manusia. Adakah setiap gerakan tersebut atau kemahuan untuk melakukan sesuatu dikira sebagai perbuatan yang dijadikan Allah atau lahir daripada kudrat dan kekuasaan manusia itu sendiri? Pendapat Ahli Sunnah Wal Jama’ah Allah memberi kuasa memilih kepada manusia berdasarkan kepada akal dan wahyu dalam melakukan sesuatu perkara atau perbuatan. Namun, berlakunya sesuatu perkara atau perbuatan itu adalah dengan izin Allah. "Dan kamu tidak dapat menentukan kemahuan kamu mengenai sesuatupun, kecuali dengan cara yang diatur oleh Allah, Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan seluruh alam." Surah at-takwir 29 Ayat ini menunjukkan bahawa manusia mempunyai pilihan dan kehendak mereka sendiri dalam melakukan sesuatu perkara dan perbuatan yang dijadikan oleh Allah. Sekiranya Allah tidak menghendaki perkara itu terjadi, ia tidak akan terjadi dan itulah ketentuan yang ditakdirkan oleh Allah.[Af'alul Ibad] Definisi Setiap perbuatan dan tindakan manusia bergantung kepada usaha dan ikhtiar manusia • Makan • Minum • Melayari facebook Bahagian af’alul ibad • Ikhtiari Sesuatu yang berlaku atas kemahuan dan kehendak manusia itu sendiri seperti beribadah, makan, tidur. • Ijbari Sesuatu yang berlaku bukan atas kehendak dan kemahuan manusia itu sendiri seperti bersin, cacat anggota, warna berkenaan af’alul ibad • Ahli Sunnah Wal Jama’ah Allah swt menjadikan kudrat dan iradat kepada manusia, dan mereka diberi kuasa memilih untuk melakukan perkara tersebut dengan izin Allah swt. • Qadariah Manusia berkuasa penuh melakukan sesuatu perbuatan tanpa ada sebarang hubungan dengan Allah. • Mu’tazilah Manusia berkuasa penuh melakukan sebarang perbuatan dengan kudrat dan iradat yang diberikan oleh Allah swt. • Jabariah Semua perbuatan adalah dengan kehendak Allah swt semata-mata. Manusia tiada kuasa langsung dalam sesuatu perbuatan. *** Oppss panjang sangat dah ni. InshaaAllah, nota akan disambung pada entri seterusnya. Keep on reading! ' Mantap aqidah, kukuh agama. '
CONTOHPERBENDAHARAAN KATA ARAB DALAM PENDIDIKAN SYARIAH ISLAMIAH Setiap kejadian yang berlaku di alam ini dengan kehendak dan iradat Allah. 2 Af'al al-'Ibad Setiap perbuatan dan tindakan manusia bergantung kepada usaha dan ikhtiar manusia sendiri. 3 'Asabah Ahli waris yang menerima harta pusaka si mati yang tidak ditentukan kadarnya.
Tauhid merupakan ilmu dasar Islam, ilmu mengenal Allah. Kepercayaan bahwa Allah Ta'ala adalah Tuhan yang satu dan merupakan satu-satunya diakui oleh semua mukmin tanpa ada pertentangan akan hal itu. Namun semua itu perlu pengenalan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah. Dalam memasuki pintu keTuhanan menjadi hal yang mendalam yaitu mengetahui Dzat, sifat, af’al dan asma’ ALLah Ta'ala. Perlu diingat juga bahwa segala perbuatan apapun yang terjadi dan berlaku di dalam alam ini pada hakikatnya adalah Af’al Perbuatan Allah ta’ala. A. DZAT Firman Allah "Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali "Aku", maka, sembahlah "Aku" Qs. At Thaha 14 ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau Dzat Allah, seperti di kalimat,,,sembahlah "Aku" Allah Dzat wajibul wujud yang wajib adanya. Allah SWT merupakan Dzat yang berdiri sendiri tanpa adanya ketergantungan pada dzat yang lain. Sangat berbeda dengan manusia yang membutuhkan Allah untuk bisa hidup. Adanya alam, malaikat, jin, dan manusia itu tercipta karena adanya akibat dari adanya Dzat Allah. Semua ada karena Dzat yang Maha Qadim. B. SIFAT Sebagai Sang Khalik, Allah swt memiliki sifat-sifat yang tentunya tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia ataupun makhluk lainnya. Mengenal sifat-sifat Allah dapat meningkatkan keimanan kita. Seseorang yang mengaku mengenal dan meyakini Allah itu ada namun ia tidak mengenal sifat Allah, maka ia perlu lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. Klik baca Sifat-sifat Allah yang wajib kita imani. C. AF’AL Af’al Allah adalah perbuatan Allah. Bahwa segala yang ada yaitu alam semesta ini dan segala isinya termasuk manusia adalah Af’al perbuatan Allah SWT. Adanya bumi, langit, manusia, malaikat, jin, surga, neraka dan yang lainnya merupakan Af’al Allah. Firman Allah “Allah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat.” QS. ash shaffat 96. Ketahuilah bahwa untung baik seperti beriman dan untung jahat seperti kafir semuanya sudah ditetapkan oleh Allah. Jadi bagaimana bila kafir apakah Allah juga yang melakukan dosa ? Allah tidak bisa disalahkan karena pada diri manusia Allah mengaruniakan hati agar manusia bisa bebas memilih sendiri antara baik dan buruk maksudnya Allah tetap memerikan kebebasan pada manusia dalam menentukan nasib dirinya sendiri, semuanya memang sudah di tetapkan dan dituliskan tentang nasib setiap mahkluk di lauhul mahfuzd di dalam kitab ketentuan nasib tiap mahkluk oleh Allah dan yang ditetapkan dan di tuliskan itu tidak akan di ubah lagi, walau pada lauhul mahfuzh tidak berubah lagi akan tetapi pada Allah yaitu pada hak Allah ta'ala masih bisa berubah sesuai dengan kehendak Nya karena Allah bersifat jaiz harus yaitu boleh menjadikan atau tidak menjadikan sesuatu sesuai kehendak Nya ini hak mutlak Allah. Kesimpulannya seseorang kafir itu bukan kehendak Allah tapi kehendak dirinya. Allah itu adil bila kita berbaik sangka kepada Nya maka Dia pun baik dengan kita begitu juga sebaliknya. D. ASMA Asma adalah nama, Firman Allah "Allah mempunyai asmaul husna, maka bermohonlah kepada Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan". QS. Al-Araf 180. T3T4- Sifat Dan Af'al Allah - 31-03-2020 | PDF. ipincom. AF'AL ALLAH DAN AF'AL IBAD. Kajian Ramadan Bersama Guru Zuhdi, Setiap Perbuatan Makhluk Menunjuk Af'al Allah SWT - apahabar.com. Af'alul Khomsah: Pengertian, Contoh dan Tanda I'robnya - khoiri.com. KELAKUAN DAN AF'AL ALLAH PADA BATANG TUBUH - YouTube TAUHIDUL AF’AL, ASMA, SIFAT DAN DZATInilah pelajaran tentang TAUHIDUL AF’AL, TAUHIDUL ASMA, TAUHIDUSSIFAT DAN TAUHIDUL AF’ALMENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA PERBUATAN Dalam pelajaran atau pengajian-pengajian yang terdahulu mungkin kita sudah mendapatkan pelajaran bahwa selain untuk membersihkan hati juga kita mempunyai titik tujuan pelajaran dan ilmu Thoriqat tasawuf yaitu adalah menuju jalan kembali kepada Allah dan supaya wusul dan liqo/ bertemu Allah. Maka bagi seorang salik/ penuntut haruslah dimulai dengan mempelajari dan mengamalkan tauhidul af’al, artinya meng esakan Allah Ta’ala pada segala perbuatan. Yakni meninggalkan seluruh perbuatan yang ada pada makhluk ini kepada Allah. Maksudnya pandanganlah olehmu dengan syuhud hati dan dengan mata kepala dengan itikad yang putus dan dengan haqqul yakin, bahwa segala perbuatan dan gerakan yang ada terlihat dalam alam ini, baik yang datang dari diri kita sendiri maupun yang datang dari semua mahluk yang ada dalam alam ini , baik perbuatan yang diridhoi oleh syara' maupun yang dilarang oleh syara' adalah kesemuanya itu perbuatan Allah Ta’ itu perbuatan Allah , maka kalau kita lihat pada lahirnya segala perbuatan itu dilakukan oleh manusia/hamba dan segala hayawan dan lain-lain sebagainya. Tetapi namun kita teliti dengan cermat dan dengan penuh keyakainan dan dengan tinjauan akal, dengan seksama bahwasanya memang mahluk ini lemah, dhaif, hina tak punya daya upaya sama sekali. Dan tidak punya sifat ta’sir dan sebagainya. Sedangkan segala pebuatan itu tidak akan ada kalau sifat yang memperbuat itu tidak memiliki sifat-sifat tsb. Sifat-sifat ta’sir itu ialah Qudrat, Iradat, ilmu, hayat sedang semua sifat-sifat itu ialah kepunyaan dan milik Allah. Jadi segala perbuatan yang ada terlihat pada alam ini dan diri kita, itulah perbuatan mazazi namanya dan bukan hakiki. Itu adalah kenyataan perbuatan Allah kepada menyandarkan perbuatannya kepada kita, adalah tanda kasih sayangnya, supaya kita punya titik dan penempatan mengenal perbuatan Allah dan ASMA MENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA ASMAMaksud dan tujuan meng esakan Allah Ta’ala pada nama yaitu yang sebenarnya ialah untuk mengenal dzat Allah, sehingga manakala kita memandang,mendengar,atau melihat nama apapun jua pada mahluk ini,maka tercurahlah pandangan basyirah kita dan perhatian kita kepada Allah Adapun pengertiaan meng esakan asma itu ialah menyatukan,meninggalkan,dan mengembalikan seluruh nama-nama atau nama-nama yang ada pada mahluk ini kepada nama dan dzat Allah Ta’ala. Baik nama-nama yang menurut hikmah dan manfa’at daripada benda alam ini ataupun nama-nama menurut perbuatan mahluk ini. yang disebut dengan nama perbuatan atau asmaul af’al. Sekira-kira dalam pandangan basyirah hati kita tidak ada yang bernama kecuali Allah. Jadi nama-nama ini tidak terbatas kepada asmaul husna saja, tetapi lebih luas dan lebih mendalam sekali atau tak dapat dihinggakan. Bermula kafiat meng Esakan Allah Ta’ala pada asma itu, yaitu kita pandang dengan mata kepala dan dengan mata hati kita pada asma Allah semata. Atau harus dikembalikan kepada Allah Ta’ala dengan dalil-dalil dan alasan sebagai berikut i. Karena af’al mahluk adalah mazhar dan kenyataan perbuatan Allah. Maka begitu juga asma mahluk adalah mazhar asma Allah yang tujuannya adalah untuk mengenal Tiap-tiap nama menuntut ujud sama, yakni tiap-tiap nama tidak terpisah dengan dzat yang empunya nama. Sedangkan kalau diperiksa dengan teliti dan dipandang dengan pandangan ma’rifat,maka tidak ada yang maujud pada hakikatnya kecuali dzat Allah Ta’ SIFATMENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA SEGALA SIFATMaksudnya meng Esakan Allah Ta’ala pada segala sifat ialah megembalikan, meninggalkan seluruh sifat-sifat yang ada pada mahluk ini kedalam sifat-sifat Allah dengan pengertian yaitu memfanakan sifat-sifat mahluk ini,kedalam sifat-sifat Allah Ta’ala sehingga tercapailah pandangan,bahwa tidak ada yang bersifat kecuali Allah Ta’ala tujuannya adalah untuk ma’rifat kepada Allah,sedangkan sifat-sifat yang ada pada mahluk ini adalah nyata sifat-sifat Allah Ta’ala. Dan sengaja Allah zahirkan sifat-sifatnya itu kepada hambanya atau mahluknya, karena rahmatnya supaya mahluk itu sendiri mempunyai tangga dan jembatan untuk mengenal sifat-sifat Allah. Dan bukan jadi dinding dan hijab untuk melihat sifat-sifat kaifiat dan cara memandang sifat Allah itu ialah Engkau pandang dengan mata hatimu dan dengan mata zahirmu dengan haqqul yakin dan dengan itiqad yang putus, bahwasanya tidak ada yang bersifat di dalam alam ini kecuali Allah. Seperti qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama, basyar dan kalam. Semuanya adalah sifat-sifat sifat-sifat yang ada pada mahluk ini adalah sifat-sifat mazazi belaka, bukan hakiki. Maka daripada itu nyatalah kepada kita bahwa sifat-sifat yang ada pada kita sekarang ini adalah nyata sifat-sifat Allah semata. Kalau kita sudah mengembalikan sifat-sifat yang ada pada kita itu kepada Allah, niscaya fanalah sifat-sifat kita itu kepada sifat-sifat tidak ada lagi yang bersifat,kecuali Allah. Jadi jelaslah sudah kepada kita bahwa kita ini tidak punya perbuatan,tidak punya nama dan tidak punya sifat kecuali Allah. DZATMENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA DZATMeng Esakan Allah Ta’ala pada dzat adalah jalan yang terakhir dari perjalan seorang salik. Disnilah titik terahir bagi arif billah untuk menuju Allah dan disini perhentian perjalanan kaum sufi dan para wali-wali disinilah batasnya mi’rojnya orang-orang mukmin sejati. Apabila sudah mencapai kepada makam tauhidul dzat itu, maka diperolehnya kelezatan dan kenikmatan yang tiada dengan itulah yang dapat memuaskan dahaga jiwanya menenangkan qolbunya,nikmat-nikmat yang tak dapat diperoleh orang lainnya. Inilah puncak rasa menikmati ridhonya , puncak kebahagiaan yang kekal dan abadi sepanjang masa. Sumber dari Haris Haris / THORIQAT NAQSYABANDIYAH About roslanTv Tarekat Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis autem vel eum iriure dolor in hendrerit in vulputate velit esse molestie consequat, vel illum dolore eu feugiat nulla facilisis at vero eros et accumsan et iusto odio dignissim qui blandit praesent luptatum zzril delenit augue duis.
Berikutadalah 20 contoh af'alul khomsah yang terdapat di dalam al qur'an. وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَ ۗ قَا لَ اِنِّيْۤ اَعْلَمُ

Pandanglah pada sekalian alam dan pada diri kita, semuanya itu Wahdaniyah Af`al keesaan Perbuatan Allah. Artinya, tiada yang memperbuat sekalian alam dan diri kita melainkan satu yang punya perbuatan, yaitu Allah Ta`ala. Sekalian perbuatan yang berlaku di dalam alam ini ada perbuatan yang baik, seperti iman dan taat. Ada juga perbuatan yang jahat, seperti kafir dan maksiat. Ada juga perbuatan mubasyarah, yaitu perbuatan yang disertai usaha atau ikhtiar, seperti gerak pena pada orang yang menulis. Ada juga perbuatan tawallud, yaitu perbuatan yang terjadi dari perbuatan mubasyarah, seperti terjadinya tulisan oleh orang yang menulis. Semua yang ada itu, yang diterangkan di atas, sumber perbuatan itu adalah dari perbuatan Allah Ta`ala yang mengadakannya. Pandanglah dengan haqqul yaqin, barulah kita bisa mendapatkan makrifat wahdaniyah Af`al Allah. Apabila makrifat wahdaniyah Af`al Allah tetap kekal, fana` sirna-lah akan sekalian af`al makhluk. Kalau sudah fana` af`al makhluk kepada Af`al Allah, lepaslah kita dari syirik khafi halus, ujub, riya, sum`ah, dan sebagainya. Inilah orang ahli tauhid yang sebenarnya. Mufakat makrifatnya dengan Quran dan hadis serta ijma ulama. Firman Allah خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَوَٱللَّهُ Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. Shaffat 96 قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَالِ هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثً۬ا Katakanlah "Semuanya [datang] dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu [orang munafik] hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun? an-Nisa78 Sabda Nabi Saw. “Tidak bergerak satu zarah pun selain dengan izin Allah.” Kata Sayyidina Umar bin al-Farid “Jikalau terlintas di dalam hatiku suatu kehendak akan yang lain selain Allah atas hatiku, jika dengan lupa sekalipun, niscaya aku hukumkan diriku ini murtad.” Sudah nyatalah sekaliannya dengan firman, hadis, dan perkataan para sahabat bahwa makrifat ahlussunnah wal jama`ah menyatakan usaha atau ikhtiar makhluk tidak memberi bekas. Artinya, usaha atau ikhtiar makhluk tidak bisa mengadakan yang tidak ada menjadi ada. Makhluk sekali-kali tidak mempunyai perbuatan karena tidak bisa meng-ada-kan yang tidak ada menjadi ada. Hanya perbuatan Tuhan saja yang bisa meng-ada-kan dari tidak ada menjadi ada. Adapun yang ada pada sekalian alam ini tetap Af`al Allah Ta`ala karena wahdaniyah Af`al Allah itu tidak kamuttasil dan kamunfasil. Kamuttasil artinya berbilang-bilang atau bersuku-suku. Kamunfasil artinya berpecah-pecah atau berbagi-bagi. Segala perbuatan makhluk tidak bisa becerai dengan Yang Punya Perbuatan, tetaplah Perbuatan Allah juga yang mengadakan pada diri makhluk. Oleh sebab itu yang ada pada makhluk hanya sebatas usaha atau ikhtiar yang tidak memberi bekas sama sekali. Itulah sebabnya pada diri makhluk berlaku hukum syara`. Barang siapa mengusahakan Perintah `Amr Allah Ta`ala dibalas dengan surga, sedangkan yang mengusahakan Larangan Nahi Allah Ta`ala dibalas dengan neraka. Maka dalam hidup ini janganlah kita melampaui syariat Nabi Muhammad Saw. atau syariat Muhammadiyah. Jika melampaui, bisa menjadi kafir zindik. Seperti kata Sultanul Awliya Abdul Qadir al-Jailani “Tiap-tiap hakikat yang tiada disertai syariat, maka zindik.” Kata Imam Junayd al-Burdadi “Barang siapa mengetahui ilmu fikih, yaitu ilmu syariat dengan tiada mengetahui ilmu tasawuf, yaitu ilmu hakikat, sesungguhnya orang itu fasik dan barang siapa mengetahui ilmu tasawuf, yaitu ilmu hakikat dengan tidak mengetahui ilmu fikih, yaitu syariat, sesungguhnya orang itu zindik. Barang siapa mempunyai kedua ilmu itu, yaitu fikih dan tasawuf atau syariat dan hakikat, sesungguhnya orang itu tauhid yang sebenarnya mukmin yang sebenarnya." Kata ulama tasawuf “Bermula syariat dengan tiada hakikat adalah hampa dan hakikat dengan tiada syariat adalah batal". Dalam menjalani hidup ini berpeganglah dengan adab yang sempurna. Pahamilah pengertian syariat dan hakikat. Janganlah kita sandarkan segala kejahatan kepada Allah atau menghina Allah Ta`ala. Seperti kita berbuat jahat, yakni berzina dan berbuat keharaman dan meringan-ringankan syariat. Pada hakikatnya, semua hukum syara` itu Allah Swt. yang membuatnya. Jika kamu lalu melimpahkan semuanya Allah Ta`ala yang berbuat, pendapat seperti ini menjadikan kekafiran. Wajib atas kita mengamalan adab yang difirmankan Allah Swt. مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ۬ فَمِنَ ٱللَّهِ‌ۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ۬ فَمِن نَّفۡسِكَ‌ۚ Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari [kesalahan] dirimu sendiri. an-Nisa79 Dari firman di atas, nyatalah Allah tidak bersifat zalim terhadap hamba-Nya dan tidak boleh kita sandarkan kejahatan pada Allah dan kita tuduh Alah juga yang berbuat kejahatan. Wajib kita memelihara diri agar tidak tergelincir menjadi kaum yang sesat, yaitu kaum yang mengi`tikadkan perbuatan hamba disandarkannya semua pada Allah. Dari firman di atas, terbagilah umat menjadi empat kaum, yaitukaum Qadariyah, yakni kaum yang mengi`tikadkan segala perbuatan hamba semuanya dari kuasa qudrat hamba yang baharu dan perbuatan hamba itu memberi bekas. Kaum seperti ini adalah kaum yang lalai, tidak dipandangnya qudrat yang ada pada dirinya itu sebagai karunia dari Qudrat Allah Ta`ala. kaum Jabariyah, yakni kaum yang mengi`tikadkan segala perbuatan hamba semuanya dari Allah Ta`ala dan dalam keyakinan mereka hamba tidak ada sama sekali. Usaha atau ikhtiar hamba hanya seperti bulu yang diterbangkan oleh angin tidak ada apa-apanya. Semuanya disandarkan pada Allah Ta`ala sehingga dia membunuh orang pun dikatakannya Allah yang membunuh. Mereka pun tidak memakai hukum syara` lagi. Inilah kafir zindik. kaum Ahlussunah wal jama`ah, yakni kaum yang mengi`tikadkan semua perbuatan hamba itu dari Allah, yang ada pada hamba hanya usaha atau ikhtiar yang tidak bisa memberi bekas, artinya tidak bisa mengadakan yang tidak ada menjadi ada. Semua yang menentukan, yang ada pada hamba hanya usaha atau ikhtiar. kaum Ahlul Kasyaf, yaitu kaum yang dianugerahi Allah Ta`ala terbuka dinding rahasia alam sehingga mereka memandang dengan sebenar-benarnya fil hakiki dengan pandangan makrifat dan zauq wajidan. Jika kita senantiasa memusyahadahkan segala perbuatan yang ada pada sekalian alam dengan cara yang telah diterangkan di atas hingga fana-lah af`al makhluk pada Af`al Allah Ta`ala. Inilah orang ahli tauhid yang sebenarnya dan memperoleh dua nikmat. وَلِمَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ جَنَّتَانِ Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga. ar-Rahman 46Surga pertama adalah surga ma`rifatullah pengenalan akan Tuhan di alam dunia. Surga kedua adalah surga yang ada di akhirat. Ketahuilah maqam kedudukan tauhidul Af`al itu, yaitu maqam terendah dari segala maqam orang arif billah, tetapi dengan maqam yang di bawah inilah kita bisa sampai pada maqam yang lebih tinggi. Maqam inilah yang mula-mula dianugerahkan Allah Ta`ala pada seorang salik dan seorang yaitu orang yang bersungguh-sungguh berjuang dalam ibadah dengan riyadah pelatihan dan mujahadah kesungguhan serta mengamalkan segala wirid yang diijazahkan gurunya. Majzub, yaitu orang yang dikaruinai Allah Ta`ala dengan tiba-tiba memperoleh makrifat tauhidul af`al, tauhidul asma, tauhidul shifat, dan tauhidul zat tanpa berbuat ibadah dari petunjuk dan ijazah guru, melainkan semata-mata dari petunjuk Allah Ta`ala. Sementara itu ada pula orang arif billah, yaitu orang yang mengenal Allah Ta`ala dan mengenali dirinya dan dapat membedakan antara Khalik dan makhluk sehingga sempurna musyahadah-nya penyaksiannya pada Allah Ta`ala. Adam Troy Effendy By Published 2014-02-17T205100+0700 Makrifat Mengesakan Af`al Allah [Kitab Makrifat Ahlullah] 5 411 reviews

ContohKhutbah Jumat Singkat Terbaru: Amalan-amalan di 10

4 Februari 2009 at 1211 PM Menurut Muhammad Abduh, bahwa “At-tauhid huwa wahdaniyatullah fi al-zat wa al-sifat wa al-af’al wa al-ibadah wama siwazaalik”, artinya, “Tauhid itu adalah meng-esakan Allah dalam zat, dalam sifat, dalam perbuatan, dalam ibadah, dalam pujian, dalam pemeliharaan, dan dalam hal-hal lain.” Perbuatan-perbuatan Allah adalah sesuatu yang unik, yang hanya itu saja, dan tidak ada yang lain dapat menyamai apa yang dilakukan Allah. Artinya, perbuatan Allah adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukan Allah tanpa ada sesuatu lain yang dapat menyamai ataupun menirukan apa yang dilakukan Allah Swt. Perbuatan-perbuatan Allah ini ditujukan semuanya dalam rangka sifat Maha Rahman dan Maha Rahim yang tujuannya untuk kebaikan makhluk-Nya, terutama untuk makhluk-Nya yang paling unggul, yaitu manusia. Sehingga dengan demikian sebenarnya, apa yang dilakukan Allah Swt itu sesungguhnya ditujukan untuk kebaikan manusia sendiri. Karena itulah, Allah Swt mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan untuk manusia itu merupakan sesuatu yang pasti tujuannya untuk kebaikan. Pertama kali Allah menciptakan alam dan isinya, “fi khalqissamawaati wal ardh” dalam penciptaan langit-langit dan bumi, untuk apa itu? Yaitu untuk kebaikan kita. Allah menciptakan bahwa di langit-langit itu atau di antara langit dan bumi terdapat ruang yang berisi udara. Untuk apa itu? Semuanya untuk manusia pula. Dan karena itu pula, Allah kemudian mengungkapkan, bahwa dalam rangka kebaikan itu, Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik pula. Sehingga diungkapkan dalam satu ayat yang terdapat dalam Surat At-Tiin, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. At-Tiin 4 Sehingga segala sesuatu yang diperbuat oleh Allah itu adalah mempunyai tujuan-tujuan khusus. Ketika menciptakan kebaikan, Allah mempunyai tujuan. Demikian juga ketika ada hal-hal yang ternyata itu merupakan sesuatu yang dinilai merugikan bagi manusia, tetapi dalam hal-hal yang merugikan itu ada nilai-nilai positif yang dapat dijadikan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Setiap Rasul mendapat anugerah mu’jizat yang dapat memberikan kenikmatan bagi kaumnya. Nabi Isa mendapat mu’jizat pengobatan, sehingga dapat menolong sebagian umatnya yang menderita penyakit yang ketika itu belum ada obatnya, dan nabi-nabi yang lain pun juga mendapat mu’jizat yang kemudian dapat memberikan kenikmatan bagi kaumnya umatnya ketika itu. Lantas apakah anugerah Allah kepada Nabi Muhammad yang dapat memberikan nilai-nilai positif atau kenikmatan-kenikmatan kepada umatnya seperti para nabi dan rasul yang terdahulu yang mendapat anugerah mu’jizat sehingga dapat memberikan nilai-nilai positif dan kenikmatan kepada umat-umatnya ketika itu? Di dalam Surat Ali Imran ayat 190-191 disebutkan Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, Ali Imraan 190 Siapakah ulil albab itu? yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ali Imraan 191 Tampaknya di sini Allah telah memberikan perbandingan, bahwa umat-umat terdahulu merupakan umat-umat yang keras, yang hanya mau percaya kalau mereka melihat sesuatu yang diinformasikan itu secara nyata. Sampai-sampai ketika mereka dianjurkan untuk beriman kepada Allah, jawaban mereka apa? Lam nu’minalaka, hatta narallaha jahratan Ya Musa, kami tidak akan beriman kepada apa yang kamu informasikan, sampai kami melihat Allah yang merupakan Sang Khalik dapat kita lihat secara nyata. Sehingga pada ayat tadi sebetulnya adalah untuk teguran, bahwa umat Nabi Muhammad itu secara budaya sudah lebih modern dibandingkan umat Nabi Musa. Sekarang kita ini secara budaya dan secara ilmu pengetahuan, sudah lebih modern dibandingkan dengan para sahabat. Tetapi, kemodernan akibat budaya, akibat kemajuan penalaran, mengapa masih harus disertai dengan pemikiran umat masa lalu yang kalau sesuatu itu harus terlihat nyata di depan kita. Maka Allah menegur, sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta dalam pergantian malam dan siang, itu sebetulnya sudah cukup sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah, sebagai tanda dan bukti bahwa Allah itu Wujud ada, Allah itu Qadirun berkuasa/mampu melakukan segala sesuatu, tanpa harus ditunjukkan bahwa Allah itu seperti ini dan seperti itu. Sehingga bukanlah cara yang terbaik untuk membuktikan bahwa Allah itu ada, yaitu dengan meminta sesuatu yang nyata, walaupun itu memang mu’jizat. Dalam bahasa aqidah, apa yang dianugerahkan kepada Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi-nabi terdahulu itu dinamakan “Mu’jizat Mu’aqqatah” mu’jizat yang temporer, yang hanya terjadi sekali dan tidak akan pernah terulang lagi. Sehingga, Nabi Musa memukulkan tongkat maka laut terbelah menjadi jalan, itu takkan terulang lagi. Begitu juga ketika Nabi Musa memukulkan tongkatnya pada batu dan batu itu memancarkan dua belas mata air, itu hanya terjadi sekali dan takkan pernah terulang lagi. Apakah Rasulullah Saw pernah mendapatkan mu’jizat mu’aqqatah? Pernah, yaitu ketika dalam suatu peperangan, makanan habis, padahal ketika itu pasukan istirahat, perut lapar, energi habis, maka kemudian Rasulullah bisa memperbanyak makanan yang sedikit. Tetapi itupun hanya terjadi sekali. Dengan seperti ini, apakah umat Rasulullah Saw para sahabat ketika itu hanya menginginkan bukti yang hanya sekali saja, kemudian tidak dapat dinalar dan dibuktikan kembali pada masa-masa yang akan datang. Maka kemudian Allah menegur, bahwa kalau masih bersikap demikian meminta bukti yang nyata berupa mu’jizat mu’aqqatah, maka umat Rasulullah akan dikategorikan bukan termasuk “ulul albab”. “albab” itu jamak dari “lubbun”, “lub” artinya intisari. Intisari dari manusia adalah akal dan jiwanya. “ulul albab” adalah kelompok yang memiliki saripati kemanusiaan. Artinya yang memiliki akal dan jiwa yang difungsikan. Sehingga kita-kita ini akan disebut sebagai orang yang memiliki akal yang difungsikan, atau sebaliknya yaitu yang memiliki akal tapi tidak difungsikan? Pernah dikritik Allah, “lahum quluubun laa yafqahu nabiha” mereka punya jiwa, punya hati, punya akal, tapi tidak dipakai untuk memikirkan segala sesuatu. Mereka punya mata, tapi tidak dipergunakan untuk melihat ciptaan Allah Yang Maha Sempurna. Mereka punya telinga, tapi tidak dipergunakan untuk mendengar kebaikan-kebaikan yang disampaikan. Sehingga kemudian Allah menegur, apakah kita manusia mau memilih mana antara “ulul albab” atau orang-orang yang hanya puas dengan bukti sesaat. Kalau memilih “ulul albab”, maka di situlah, “allazina yazkurunallah” yang selalu berzikir ingat kepada Allah kapan saja, di mana saja, serta bagaimanapun keadaannya, selalu mengingat Allah. Ketika kita ingat kepada Allah, apa implikasinya? Implikasinya adalah kita menjadi ingat kepada ciptaan-Nya, Maha Kuasa-Nya, Maha Kebaikan-Nya. Sehingga ini akan mendorong kita, kalau Allah Maha Baik, saya bisa tidak menjadi baik, kalau Allah Maha Pengampun, saya bisa tidak mengampuni sesama. Ini akan mendorong kita untuk memiliki sifat-sifat yang ada pada Allah. Sehingga nantinya akan, “Rabbana, maa khalaqta haaza baathila” Ya Allah, sungguh tidak sia-sia Engkau ciptakan sesuatu yang ada di dunia. Sungguh tidak sia-sia Allah menciptakan segala sesuatunya di atas dunia ini. Bahkan bencana alam sekalipun merupakan ciptaan Allah, yaitu ciptaan yang sesuai dengan sunnatullah. Kalau begitu di mana letaknya kalau ciptaan ini memberikan kebaikan bagi manusia? Dengan bencana alam, pada awalnya manusia memang mengalami banyak kerugian, banyak yang mati, lingkungannya rusak dan sebagainya. Tapi dengan bencana alam ini ternyata kemudian menimbulkan kesadaran, kepedulian dari sesama menyikapi musibah yang menimpa saudaranya, sehingga tergerak untuk membantu. Inilah nilai positifnya. Tidak ada hal yang sia-sia dari apa yang diciptakan oleh Allah di atas dunia ini, meskipun bencana alam sekalipun. Kalau kita menghayati semua ini, maka kita akan menemukan hikmah dan tujuan dari penciptaan Allah tentang hal-hal yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pasti pada akhirnya kita akan menemukan sesuatu yang memberikan nilai manfaat dan nilai lebih bagi kehidupan kita. Apakah tujuan Allah mengutus Nabi? Allah mengungkapkan, “Ketika Allah menciptakan manusia dalam kondisi terbaik, maka di situ pula Allah kemudian tidak akan pernah meninggalkan manusia dalam keterpurukannya.” Ketika manusia tersesat karena tidak lagi dapat mengikuti ajaran-ajaran para Rasul terdahulu karena banyaknya polusi-polusi kebudayaan serta noda-noda kemaksiatan yang mengotori akidah atau ajaran agama yang disampaikan Rasul, sehingga umat cenderung untuk melakukan kemungkaran, maka Allah tidak tinggal diam. Maka diutuslah para Nabi untuk mengingatkan lagi. Kemudian setelah Sang Nabi wafat, tidak berapa lama kemudian digantikan dengan Nabi yang lain. Sehingga, selalu ada Nabi yang menggantikan. Mengapa? Karena tujuannya adalah untuk menghindarkan umat manusia dari kesesatan, dari kesalahan syari’at, serta dari kesalahan ibadah. Ketika Rasulullah ditetapkan sebagai Khatamun Nabiyyin Nabi Yang Terakhir, apakah ini berarti setelah Rasulullah Saw wafat, maka Allah kemudian akan meninggalkan manusia, yang kemudian manusia akan hidup dalam keterpurukan dan kesesatan? Namun Rasulullah kemudian menginformasikan Innallaha yursilu li kulli ummatin ala ra’simiatin man yujaddidu laha diinaha Sesungguhnya Allah selalu akan mengirim pada setiap umat seseorang yang selalu akan memperbaharui pemahaman agama yang sudah menyimpang, agar umat tadi terhindar dari kezaliman. Sepeninggalan Rasulullah, maka muncullah mujaddid pertama di dalam Islam, yaitu Umar bin Khattab Khalifah Kedua dari Khulafaur Rasyidin. Apa jasa beliau sehingga dikenal sebagai mujaddid pertama di dalam Islam yang mengingatkan umat? Jasa beliau adalah untuk melestarikan Al-Qur’an, yaitu mengusulkan agar wahyu yang diterima Rasulullah disatukan dalam satu jilid mushaf. Karena ketika itu, begitu Rasulullah wafat ternyata sebagian Bangsa Arab ketika menyatakan memeluk Agama Islam lebih dikarenakan wibawa Rasulullah atau lebih didorong karena akhlak Rasulullah. Dikhawatirkan sepeninggalan Rasulullah, orang-orang yang memeluk Islam karena pengaruh wibawa Rasulullah itu akan berbalik kepada kejahiliyahan. Semasa hidup Rasulullah, otoritas penetapan hukum berada pada beliau selaku penerima wahyu. Sehingga sepeninggalan Rasulullah, tinggallah Al-Qur’an sebagai pedoman hukum, selain juga Sunnah Rasulullah yang ketika itu juga belum dikodifikasi dibukukan, sama halnya dengan Al-Quran. Dalam hal ini, Umar bin Khatthab memandang perlu dan pentingnya Al-Quran untuk segera disatukan dalam satu jilid mushaf. Karena saat itu Al-Qur’an memang belum dibukukan, melainkan pencatatannya masih tercerai berai dan lebih banyak mengandalkan catatan dan hafalan para sahabat yang mencatat Al-Qur’an semasa hidupnya Rasulullah. Sedangkan saat itu masa kekhalifahan Abu Bakar Siddiq, banyak para sahabat penghafal Al-Qur’an yang gugur di medan perang. Sehingga berkaitan dengan hal ini, maka ide Umar bin Khattab untuk menyatukan Al-Qur’an dalam satu jilid mushaf dapat dikatakan sebagai ide pembaharuan tajdid. Umar bin Khatthab selaku tokoh tajdid pembaharuan itu dapatlah dikatakan sebagai mujaddid pembaharu. Berkaitan dengan akhlak Rasulullah yang menjadi magnet tersendiri bagi syi’ar Agama Islam, sehingga semasa hidupnya Rasulullah banyak Bangsa Arab yang masuk Islam karena akhlak Rasulullah, bukan karena akidah yang ditawarkan. Maka sangat tepatlah ketika Rasulullah menyatakan, “Innama bu’istimu li utammima makarimal akhlaq,” Sesungguhnya Rasulullah itu diutus untuk menyempurnakan akhlak. Tentang kemuliaan akhlak Rasulullah ini, pernah terjadi ketika di Mekkah setiap kali Rasulullah berangkat ke Ka’bah ketika itu untuk beribadah, yang saat itu wahyu untuk melakukan perintah shalat lima waktu shalat fardhu belumlah diterima Rasulullah, sehingga ibadah Rasulullah ketika itu hanya dilakukan dua kali, yaitu “bukratan wa ashiila”, yaitu pagi dan petang, yang mana ibadah seperti ini sudah dilakukan Rasulullah sejak beliau menerima wahyu. Diceritakan bahwa setiap Rasulullah berangkat ke Ka’bah, di perempatan jalan sudah menunggu seseorang. Begitu melihat Rasulullah, orang tersebut langsung memaki-maki. Kadang-kadang makian tak mempan, maka diambilnya pasir lalu dilemparnya ke arah Rasulullah. Tapi Rasulullah tak mempedulikan itu. Rasulullah hanya tersenyum saja atas perlakuan orang tersebut. Sehingga orang tersebut semakin kesal saja. Mengapakah orang tersebut kesal? Orang tersebut kesal, karena keinginannya ketika dia memaki-maki Rasulullah, maka Rasulullah juga harus membalasnya dengan memaki-maki ataupun marah. Karena kalau Rasulullah marah, maka dia orang itu mempunyai alasan untuk melakukan perbuatan yang lebih dari itu. Namun Rasulullah hanya tersenyum saja menanggapi itu semua. Suatu saat ketika Rasulullah berangkat ke Ka’bah, ternyata orang yang biasanya memaki-maki beliau tersebut tidak ada. Rasulullah pun heran, karena tak biasanya, dan Rasulullah merasa ada sesuatu yang kurang dan janggal, karena biasanya disambut oleh sesuatu, tapi saat itu tidak. Akhirnya Rasulullah melanjutkan perjalanan ke Ka’bah. Setelah dari Ka’bah, Rasulullah pun bertanya-tanya, kemana gerangan orang yang biasanya memaki-maki dirinya itu. Ternyata setelah diketahui, bahwa orang tersebut sedang sakit. Lalu Rasulullah bergegas pulang, kemudian minta kepada istrinya Khadijah untuk membungkuskan makanan. Dengan membawa makanan, Rasulullah pun langsung menjenguk orang tersebut ke rumahnya. Mengetahui bahwa yang datang adalah Rasulullah, orang tersebut semakin ketakutan, takut kalau-kalau Rasulullah akan membalas perbuatannya. Rasulullah pun masuk ke rumah orang tersebut. Ternyata ketakutan orang tersebut tak terbukti, karena Rasulullah datang bukanlah untuk membalas dendam, melainkan untuk menjenguk orang tersebut yang sedang sakit. Maka orang tersebut kemudian hilang rasa takutnya, malahan kemudian muncul penghargaan dan rasa simpati terhadap Rasulullah, karena orang-orang di sekitarnya belum ada yang peduli kalau dia sedang sakit. Tapi ini, orang yang selama ini dimusuhinyalah yaitu Rasulullah yang peduli dan menjenguknya yang sedang sakit. Ketika Rasulullah akan pamit pulang dan mau keluar dari rumah orang tersebut, tiba-tiba orang tersebut memanggil “Ya Muhammad, aslamtu bima da’awtani”, ya Muhammad, saya menyatakan keislaman saya terhadap apa yang engkau dakwahkan kepada kami. Islamnya orang tersebut karena apa? Bukan karena keyakinan bahwa yang didakwahkan Rasulullah itu benar, bukan karena mempercayai bahwa yang didakwahkan Rasulullah itu datang dari Allah. Tetapi lebih dikarenakan akhlak mulia Rasulullah. Manusia, karena secara fitrah mempunyai potensi fujur kekuatan yang selalu mengajak kepada keburukan, maka pasti tidak ada satupun manusia yang terhindar dari keinginan untuk melakukan keburukan. Sehingga berbuat buruk itu konon sudah menjadi sifat dasar manusia. Namun di sinilah, ketika kita melakukan keburukan, hendaknya segera sadar bahwa itu salah. Bagaimana memperbaikinya? Ikutilah perbuatan buruk tadi dengan perbuatan baik yang dapat menghapus, yang dapat menjadi kompensasi dari perbuatan buruk tadi. Oleh karena itulah, kita selalu dianjurkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Karena kebaikan itulah yang sesuai dengan tujuan Allah dalam penciptaannya, yaitu penciptaan itu adalah untuk kebaikan. Ketika menganjurkan umat, maka ungkapannya adalah wal takum minkum ummatun, yaf’uuna ila khairi “hendaknya di antara kamu ada sekelompok orang yang mau mengajak kebaikan,” bukan mengajak kepada keimanan terlebih dahulu. Wa ya’muruna bil ma’ruf wa yanhaw anil munkar, setelah mengajak kepada kebaikan, baru kemudian mengajak kepada ajaran syari’ah. Dan itu ternyata sesuai dengan misi pengutusan Allah terhadap Rasul-Nya, li utammima makarimal akhlaq. Kemudian ungkapan tadi dilanjutkan, wa ahsin kama ahsanallahu ilaika, “dan berbuatlah yang terbaik, sebagaimana Allah telah melakukan yang terbaik bagi kita bagi manusia”. Pada yang pertama adalah perintah yang baik, maka perintah selanjutnya adalah berbuat yang terbaik, sebagaimana Allah telah melakukan yang terbaik bagi manusia. Jadi, semua yang dilakukan Allah terhadap manusia adalah segala sesuatu yang terbaik. Bandingkan dengan apa yang dilakukan manusia. Kalau kita manusia melakukan suatu kegiatan, seringkali semampunya saja. Padahal ketika melakukan sesuatu, kadang kita mengeluarkan tenaga, mungkin juga berfikir bagaimana melaksanakannya, mungkin juga harus mengeluarkan uang. Namun karena di dalam hati niat melakukannya itu seenaknya, maka hasil yang dicapaipun menjadi seenaknya. Berbeda ketika kita melakukan pekerjaan dengan niat untuk mencari hasil yang terbaik, sama-sama mengeluarkan tenaga, biaya, dan penalaran, namun karena dilandasi dengan niat untuk mencapai yang terbaik ahsin, maka hasilnyapun menjadi yang terbaik. Manusia selalu ingin karyanya dihargai. Kalau itu yang diinginkan, tampaknya kita perlu bersikap seperti yang dilakukan Allah, bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah pasti ada manfaatnya, pasti membawa sesuatu yang berfaedah bagi makhluk-Nya. Mengapa bagi makhluk-Nya? Karena Allah tidak memerlukan sesuatu, Allah tidak memerlukan apa-apa. Yang dilakukan Allah adalah untuk kepentingan makhluk-Nya, terutama manusia. Sehingga, ketika kita menghayati Keesaan Allah dalam penciptaan, maka hanya Allah yang dapat melakukan segala sesuatu dengan tanpa sia-sia. Rabbana maa khalaqta haaza baathila, maksudnya adalah bahwa apapun yang dilakukan Allah, apapun yang yang diciptakan oleh Allah, pasti akan memberikan nilai tambah bagi manusia. Ini keesaan Allah. Dan kewajiban kita adalah meniru apa yang dilakukan oleh Allah. Yang pasti kita tidak dapat menyamai-Nya, walam ya kullahu kufuwan ahad tidak ada satupun yang dapat menyamai Allah-dalam segala halnya, namun yang dapat kita lakukan hanyalah meniru-Nya. Kalau Allah menciptakan sesuatu adalah selalu memiliki manfaat dan tujuan, kitapun bisa melakukan itu apabila disertai keinginan untuk melakukan dengan yang terbaik, karena sesuatu yang terbaik akan memberikan manfaat. Dalam bahasa teologinya disebut bahwa pengiriman Rasul itu merupakan “nazhariyatusshalah wal ashlah” yang artinya “teori kebaikan dan yang terbaik”, maksudnya adalah bahwa yang dilakukan oleh Allah kepada makhluk-Nya itu adalah sesuatu yang baik dan terbaik. Sehingga setiap makhluk mesti diberi sarana untuk menjadikan dirinya baik dan terbaik. Makhluk yang lemah dan tak memiliki pertahanan diri yang dapat diandalkan ternyata diberi kemampuan lain. Misalnya, kijang tidak mempunyai pertahanan diri, tapi dia diberi kemampuan bisa lari cepat. Ini adalah untuk kebaikan makhluk itu sendiri. Cumi-cumi tidak dapat menentang predator hewan pemangsa, maka dia diberi kemampuan bisa mengeluarkan cairan hitam yang bisa membuat gelap, sehingga dia bisa menyelamatkan diri. Manusiapun begitu. Bahkan kelengkapan dan kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah merupakan sesuatu yang komprehensif menyeluruh, dari tangan, kaki, akal , pendengaran, penciuman, dan sebagainya, yang semuanya bisa dimanfaatkan untuk kebaikan manusia. Maa khalaqta haaza bathila, untuk apa penciptaan Allah yang luar biasa itu? Semuanya adalah ditujukan untuk manusia. Sehingga kita layak menyikapi apa yang ada di sekitar kita, bahwa itu semua adalah ciptaan Allah yang harus kita hayati, kita sikapi, dan kita respon dengan bijaksana. Sehingga kita tidak terlanjur menyikapi dengan sembrono, yang pada akhirnya dapat menyebabkan sesuatu yang salah. Pada saat Rasulullah telah dipastikan sebagai insan pilihan, sebagai manusia yang selalu berjalan dalam kebenaran, mendapat wahyu yang berasal dari Allah, itupun beliau tidak boleh sembarangan. Surat Yaasin mengungkapkan Yaasin, wal quranil hakim Yaasin, Demi Qur’an yang penuh dengan ajaran-ajaran dengan kebijaksanaan. Innaka laminal mursalin Sesungguhnya engkau ya Muhammad adalah benar-benar dari kelompok yang dipilih Tuhan menjadi Rasul yang diutus. Ala shiratal mustaqim Yang pasti berada pada jalan yang benar. Tanziilal azizirrahim Yang mendapat wahyu turun dari Allah. Walaupun sebagai seorang Rasul, tapi tidak boleh berdakwah semaunya. Bagaimana berdakwah? Seperti yang ada di dalam Al-Qur’an, yaitu “hakim”, “hikmah”, kebijaksanaan. Ada ungkapan, qulil haqqa walaukaana murran katakanlah yang benar walaupun itu pahit. Tapi menurut Al-Qur’an tidak begitu. Kalau Al-Qur’an ajarannya adalah seperti yang tersebut pada Surat Al-Baqarah “wakuulu linnaasi husna”, artinya “berbicaralah pada manusia-manusia orang-orang di sekitarmu dengan cara yang terbaik,” maksudnya adalah menyampaikan sesuatu kebenaran dengan nuansa kebaikan. Kalau ingin mengatakan yang benar, bagaimana ungkapan yang benar tersebut dapat diinformasikan dengan cara yang baik dan benar pula, sehingga tidak menyakitkan. Karena kalau “qulil haqqa walaukaana murran” katakanlah yang benar walaupun itu menyakitkan. Tapi kalau dalam Al-Qur’an tidak seperti itu. Sebab kalau sesuatu yang benar disampaikan dengan cara yang keras, maka orang-orang akan lari. Ayat Al-Qur’an juga mengisyaratkan itu “fabima rahmatin min rabbika lintalahum walau kunta fardhan ghalizal qalbi lan fazlu min haulik” maka dengan rahmat Allah, anugerah Allah, yang dikaruniakan kepadamu, hendaknya kamu bersikap lemah-lembut, walaupun yang kamu sampaikan itu benar tapi kalau menyampaikannya dengan cara yang keras dan kaku, maka orang-orang akan lari. Apa saja yang diciptakan Allah ternyata untuk kebaikan manusia. Walaupun apa yang dilakukan Allah itu benar dan bermanfaat, tapi apabila tidak disikapi secara bijak, justru akan menyebabkan munculnya kebencian. Mungkin ada di antara umat Islam yang kurang memperhatikan ini, sehingga kalau menyampaikan kebenaran justru menimbulkan kebencian orang lain. Maka mungkin kita harus menyikapi dengan “fabima rahmatin min rabbika lintalahum”, bersikap lemah-lembut. Jika mengajak kepada kebaikan dan memberantas kemungkaran, bagaimana melaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah, yaitu dengan cara yang lembut, sehingga tidak menimbulkan kebencian. Wal qur’anil hakim demi Al-Qur’an yang di dalamnya penuh dengan ajaran-ajaran yang bijaksana. Ternyata Al-Qur’an itu ajarannya penuh dengan kebijakan-kebijakan. Sehingga sebenarnya itulah tujuan Allah menciptakan hal-hal yang ada di sekitar kita. Itulah tujuan Allah dalam mewahyukan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya, yang kemudian menjadi imaman pedoman, wa nuuran, wa hudan, wa rahmah. Dan yang jangan dilupakan adalah “wa rahmah” dan rahmat, maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an itu dapat menjadi hal-hal yang menimbulkan kasih sayang. Dari kata “rahmat” muncul Ar-Rahman Ar-Rahim yang artinya kasih sayang. Sehingga apa yang dilakukan Allah Swt betul-betul merupakan keesaan-Nya, yang semuanya ditujukan untuk membangkitkan kebaikan-kebaikan, kasih sayang-kasih sayang di antara kita sesama makhluk-Nya. Apabila ini dapat kita hayati, maka pasti akan menimbulkan dorongan pada diri kita. Mengapa saya tidak melakukan yang terbaik, kalau yang burukpun memerlukan tenaga, sama-sama lelahnya. Karena itu, mungkin seperti Allah Swt yang tidak pernah membenci makhluk-Nya, walaupun makhluk-Nya ingkar, tapi Allah selalu membuka pintu taubat, karena menginginkan kebaikan bagi makhluk-Nya. Inilah keesaan Allah dalam perbuatan-Nya. Atau “at-tauhiid fi af’al”. [] Disarikan dari Pengajian Tauhid yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, pada tanggal 12 Juni 2007 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor Hanafi Mohan. Entry filed under Akidah Akhlak, Islamika. Tags akhlak, tauhid. Diantara nama Allah yang perlu di fahami ialah nama al-Awwal, al-Akhir, azh-Zhahir dan al-Bathin. Empat nama di antara nama-nama Allah yang sangat indah. Empat nama ini ditambah nama al-'Alim terkumpul pada Al-Qur'an, surah al-Hadid ayat 3, yaitu firman-Nya: هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلأَخِرُ وَالظَّاهِرُ Artikel Af'alul khomsah Pengertian, Contoh dan Tanda I'robnya menjelaskan tentang pengertian Af'alul khomsah, tanda I'rob yang terdapat di Af'alul khomsah, Contoh Af'alul khomsah di bahasa Arab serta contoh penulisan Af'alul khomsah di dalam Alqur'an. Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara, apabila saudara mempunyai pertanyaan silahkan tanyakan melalui kolom komentar di bawah atau melalui halaman itu Af'alul Khomsah?secara bahasa Arab af'alul khomsah berarti fi'il yang lima, Pengertian af'alul khomsah adalah setiap fi'il mudhori' yang bersambung dengan alif tasniyah, wawu jamak dan ya' mu'annas mukhotobah. afa'alul khomsah atau fi'il yang lima itu sebagai berikut يَفْعَلَانِ artinya Dia berdua laki-laki sedang mengerjakanتَفْعَلَانِ artinya Kamu berdua laki-laki sedang mengerjakanيَفْعَلُوْنَ artinya Mereka laki-laki sedang mengerjakanتَفْعَلُونَ artinya Kalian laki-laki sedang mengerjakan تَفْعَلِيْنَ artinya Kamu wanita sedang mengerjakanDari pola wazan di atas akan kita gunakan untuk kata kerja sa ala bertanya dan fataha membuka sebagiamana contoh di bawah Tabel Perubahan kata dengan wazan pola af'alul khomsahContoh Af'alul khomsah di kalimat bahasa ArabBerikut 5 contoh penulisan Af'alul khomsah di dalam kalimat bahasa Arab, adapun warna kuning kami berikan kepada lafadz yang terdapat asma'ul khomsah supaya memudahkan di dalam mempelajari dan وَ مُهَمَّدٌ يَسْأَلاَنِ اِلَى الْاُسْتَاذِ Artinya Zaid dan Muhammad sedang bertanya kepada ustadzهُمْ يَقْرَئُوْنَ الْقُرْان فِى الْمَسْجِدِ Artinya Mereka membaca Al Qur'an di masjidاَنْتُمَا تَفْتَحَانِ الْبَاب Artinya Kamu berdua sedang membuka pintuاَنْتُمْ تنْصُرُوْنَ الْمُسْلِمَة Artinya Kalian semua sedang menolong muslimahاَنْتِ تَفْتَحِيْنَ الْكِتَابَ Artinya Kamu Wanita sedang membuka pintuTanda I'rob Af'alul khomsah di Bahasa ArabMenurut ilmu tata bahasa Arab, Af'alul khomsah memliki 3 tanda I'rob, 3 tanda i'rob di Af'alul khomsah adalah Rofa', Jazm dan Nashob. sebagaimana tertulis di dalam nadhoman kitab Alfyah waj'al li nahwi yaf'alaanin nuuna rof'an wa tad'iina wa tas لِنَحْوِ يَفْعَلاَنِ الْنُّوْنَا ¤ رفْعًاوَتَدْعِــيْنَ وَتَسْـــــأَلُونَاوَحَذْفُهَا لِلْجَزْمِ وَالْنَّصْبِ سِمَهْ ¤ كَلَمْ تَكُــــوْنِي لِتَرُوْمِي مَـــظْلَمَهْArtinya Jadikanlah Nun sebagai tanda rofa' untuk kalimat yaf'alaani, seperi lafadz tad'iina Fi'il Mudhori' dengan ya' muannas Mukhotobah dan seperti lafadz tas aluna fi'il mudhori' dengan wawu jama'. Adapun Jazm dan Nashob sama dengan membuang nun seperti lafadz lam takuuni li taruumi madzlamah seorang wanita tidak sengaja melakukan kedholiman"Dari nadhoman Alfiyah di atas dapat difahami bahwa Af'alul khomsah bisa memiliki tanda i'rob rofa' Tanda rofa'nya dengan adanya nun, seperti tad'iina dan tas aluna pada contoh nadhoman Alfiyah di atas. Adapun contoh I'rob rofa' dengan af'alul khomsah di bahasa Arab sebagai berikut اَنْتُمْ تَذْهَبُوْنَ اِلَى الْمَدِيْنَةِ Artinya Kalian semua lelaki pergi ke kota, tadzhabuuna adalah contoh i'rob rofa af'alul khomsahالمُسلِمُوْنَ يَقْرَئُونَ الْقُرْانَ فِى الْمَسْجِدِ Artinya Orang-orang muslim membaca Al qur'an di Masjid, yaqrouuna adalah contoh i'rob rofa af'alul khomsahالمُسلِمُوْنَ يَجْلِسُونَ فِى الْبَيْتِ Artinya Orang-orang muslim sedang duduk di rumah, yajlisuuna adalah contoh i'rob rofa af'alul khomsahI'rob Jazm di Af'alul KhomsahMenurut Nadhoman alfiyah di atas untuk menunjukkan adanya I'rob Jazm di Af'alul Khomsah adalah dengan membuang nun, seperti lafadz lam takuuni, yang asalnya takuuniina, karena ada amil yang menjazmkan berupa harfun lam, maka menjadi lam takuunii.لَمْ تَكُــــوْنِي asalnya adalah تَكُــــوْنِيْنَ, harfun lam menjamzkan fi'il mudhori' sehingga lafadz takuuniina harus membuang nun nya menjadi takuuniMembuang huruf Nun wajib sebagai tanda i'rob jazm juga tertulis di dalam nadhoman kitab imrithi sebagai berikut fakhadzfu nuunir rof'i qot'an yalzamu fil khomsatil af'aali khaetsu نُوْنِ الرَّفْعِ قَطْعًايَلزَمُ فِي الخَمْسَةِ لأَفْعَالِ حَيْثُ تُجْزَمُArtinya "Membuang nun alamat rofa' itu diwajibkan sebagai tanda I'rob Jazm pada Af'alul khomsah." Adapun contoh kalimat bahasa Arab dengan I'rob Jazm di Af'alul khomsah sebagai berikutاَنْتُمْ لَمْ يَنْصُرُو اَطْفَالُهُمْ Kamu semua belum menolong anak-anak mereka. yanshuruu adalah merupakan contoh i'rob jazm yang membuang nun, asalnya adalah لَمْ يَقْرَئُو الْقُرْان فِى الْمَسْجِد Mereka semua belum membaca Al Qur'an di Masjid, yaqrou adalah contoh i'rob jazm yang membuang nun, asalnya adalah لَمْ يَجْلِسُوْ فِى الْبَيْتِ Orang-orang muslim belum duduk di rumah, yajlisu adalah contoh i'rob jazm yang membuang nun, asalnya adalah Nashob di Af'alul KhomsahMenurut Nadhoman alfiyah di atas untuk menunjukkan adanya I'rob Nashob di Af'alul Khomsah adalah dengan membuang huruf nun, seperti lafadz litaruumii, asalnya adalah taruumiina, karena ada lam juhud yaitu lam yang menashobkan fi'il mudhori' maka menjadi litaruumi. لِتَرُوْمِي asalnya adalah تَرُوْمِيْنَ, terdapatnya lam juhud maka menashobkan fi'il mudhori' sehingga menjadi litaruumiMembuang Nun sebagai tanda I'rob Nashob pada af'alul khomsah juga tertulis di dalam nadhoman kitab jurumiyah ang berbunyi wa amma hadzfun nuuni fayakuunu 'alaamatan lin nasbi fil af'alil khomsatil latiy rof'uha bisyabaatin حَذْفُ النُّوْنِ فَيَكُوْنُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِى الْاَفْعَالِ الْخَمْسَةِ الَّتِي رَفْعُهَا بِثَبَاتِ النُّونِ Artinya " Adapun terbuangnya nun maka ia menjadi tanda bagi nashob pada fi'il yang lima ketika rofa'nya dengan tetap nun."Adapun contoh terbuangnya nun dengan sebagai tanda i'rob nashob kami berikan warna kuning. Contoh kalimat i'rob nashob dengan terbuangnya nun pada Af'alul khomsah sebagai berikut1. نَحْنُ لَنْ يَكْتُبُوْا فِى الْمَسْجِد Artinya Kami tidak akan menulis di masjid, yaktubu menjadi nashob karena amil nawashib lan, yaktubuu asalnya yaktubuuna2. لَنْ يَّضُرُّوا اللّهُ شَيْئً Artinya Mereka tidak akan memberi bahaya kepada Allah sedikit pun yadhurru menjadi nashob karena terdapat amil nawashib lan, yadhurru asalnya adalah yadhurruuna 2. فَهَلۡ عَسَيۡتُمۡ اِنۡ تَوَلَّيۡتُمۡ اَنۡ تُفۡسِدُوۡا فِى الۡاَرۡضِ وَتُقَطِّعُوۡۤا اَرۡحَامَكُمۡ QS. Muhammad ayat 22 Artinya "Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?". tufsiduu menjadi nashob karena karena terdapat amil nawashib lan, tufsiduu asalnya adalah Penulisan Af'alul khomsah di dalam Al Qur'anAapun lafadz yang menunjukkan bahwa lafadz tersebut mengikui pola wazan af'alul khomsah kami berikan garis bawah supaya lebih mudah di dalam mempelajarinya Berikut adalah contoh penulisan af'alul khomsah di dalam Al Quran الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ QS. Al Baqoroh ayat 3 yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka,. اَمْ لَمْ يَعْرِفُوْا رَسُوْلَهُمْ فَهُمْ لَهٗ مُنْكِرُوْنَ ۖ QS. AL Mu'minun ayat 69 Artinya ataukan mereka tidak mengenal Rosul mereka muhammad, karena itu mereka mengingkarinyaفَاِذْ لَمْ يَأْتُوْا بِالشُّهَدَاۤءِ فَاُولٰۤىِٕكَ عِنْدَ اللّٰهِ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ ,,, QS. An nur ayat13 Artinya Oleh karena mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam pandangan Allah adalah orang-orang yang اللّٰهُ اَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖٓ اَبَدًا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ۚ QS. An Nur ayat 17 Artinya Allah memperingatkan kamu agar jangan kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman,وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ QS. An Nur ayat 22 Artinya Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabatnya, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah YXc5.
  • h4s3aa6rt8.pages.dev/214
  • h4s3aa6rt8.pages.dev/37
  • h4s3aa6rt8.pages.dev/162
  • h4s3aa6rt8.pages.dev/327
  • h4s3aa6rt8.pages.dev/128
  • h4s3aa6rt8.pages.dev/241
  • h4s3aa6rt8.pages.dev/192
  • h4s3aa6rt8.pages.dev/177
  • h4s3aa6rt8.pages.dev/35
  • contoh af al allah